11 Maret 2013

TERAPI AKHLAK ALA AL-GHAZALI

Oleh MARSUDI FITRO WIBOWO

Harian Umum Pikiran Rakyat - Bandung
Jumat, 24 Agustus 2007

ALLAH SWT menetapkan manusia dengan kelebihan akal, ilmu, dan bentuk fisik. Manusia adalah makhluk paling utama di sisi Allah. Namun demikian, manusia masih memerlukan perlindungan Allah dari kejahatan setan. Apalagi kita, manusia yang minim ilmunya dan serba kekurangan, bahkan sering lalai. Sedangkan rasul pun tetap meminta perlindungan-Nya.

Sebagai insan biasa, barang siapa yang menginginkan keamanan, ketentraman, serta disayangi dan dihormati oleh sesama, sudah semestinya ia harus mengusahakan dalam pergaulannya dengan baik. Sebenarnya, hidup manusia sangat bergantung kepada pergaulan tersebut yang dapat memberikan pengaruh besar atas dirinya, sebagai lambang akhlak mulia (akhlaq al-karimah). Sebaliknya, jika yang tertanam akhlak buruk (akhlaq madzmumah) tentulah "dampak buruk" bagi si pelakunya akan selalu datang menerjang. Dari sinilah kita perlu intropeksi diri (muhasabah) dan memohon perlindungan kepada Allah SWT.

Imam al-Ghazali (1058-1111), salah seorang filosof dan pemikir Muslim memberikan definisi akhlak dalam bab riyaadhah al-nafs, adalah sebagai gambaran tentang kondisi (al-haiah) yang menetap di jiwa (al-nafs), yang semua perilaku bersumber darinya dengan penuh kemudahan tanpa memerlukan proses berpikir (fikr) dan merenung (rawiyyah). Jika kondisi yang menjadi sumber berbagai perilaku yang indah dan terpuji bersifat rasional dan syar'i, kondisi itu disebut akhlak yang baik. Sebaliknya, jika berbagai perilaku yang bersumber darinya buruk, kondisi yang menjadi sumber itu disebut akhlak yang buruk. (Ihyaa' 'Uluum al-Diin, III/2003: 48).

Adapun untuk memunculkan dan menguatkan akhlak yang terpuji sebagai pokok dasarnya al-Ghazali mengatakan, "Sesungguhnya induk dan prinsip akhlak ada beberapa, yaitu kebijaksanaan (al-hikmah), penjagaan diri (al-'iffah), dan keadilan (al-'adl). Kebijaksanaan adalah kondisi jiwa untuk memahami yang benar dari yang salah pada semua perilaku yang bersifat ikhtiar; keadilan adalah kondisi dan kekuatan jiwa untuk menghadapi emosi (al-ghadab) dan syahwat serta menguasainya atas dasar kebijaksanaan serta mengendalikannya melalui proses penyaluran dan penahanan sesuai dengan kebutuhan; keberanian adalah ketaatan kekuatan emosi terhadap akal pada saat nekad atau menahan diri; sedangkan penjagaan diri adalah terdidiknya kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan syariat." (Ihya' Ulumuddin, III/2003: 49).

Di sini sangat terlihat sekali bahwa situasi dan kondisi atau dalam pergaulan sehari-hari dapat memengaruhi baik dan buruknya kepada perilaku kita. Dalam karyanya yang lain, "Minhaaj al-'Aabidiin", Imam al-Ghazali berpesan, "Berhati-hatilah dalam bergaul. Sebab, seseorang seringkali mudah terpengaruh oleh ajakan dan kemauan orang lain. Sebagai contoh, mereka melakukan kejahatan, maka ia pun akan mengikutinya. Mereka berbuat maksiat, maka ia pun akan mengikuti perbuatan itu. Ia takut dikatakan tidak setia atau tidak solider jika tidak mengikuti perbuatan mereka. Demi orang lain, terkadang seseorang rela mengorbankan dan mengotori urusan akhiratnya." (Minhaajul 'Aabidiin, 1989: 91).

Al- Ghazali telah melukiskan metodenya dalam mengobati penyakit hati ini secara global. Menurutnya, metode itu berlawanan dengan keinginan dan kecenderungan jiwa. Allah SWT telah mengumpulkan hal itu di dalam Alquran, "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya." (Q.S. An-Naziat: 40-41)

Oleh karena itu, terapi akhlak atau perilaku yang buruk adalah dengan memaksakan diri melakukan perilaku atau akhlak yang baik dan bertentangan dengan yang hendak diobati, serta terus melakukanya sehingga menjadi sebuah kebiasaan dan tabiat. Dengan metode ini, akhlak atau perilaku buruk akan hilang dan digantikan dengan akhlak atau perilaku yang baik. Apabila akhlak buruk yang mesti diobati bersifat menetap atau kuat di dalam perilakunya, maka al-Ghazali menasihati untuk menerapkan metode al-tadrij (bertahap) dalam mengobatinya, yaitu dengan memindahkan si individu dari akhlak buruk kepada akhlak lain yang lebih ringan dan terus seperti itu, hingga akhirnya ia terbebas dari akhlak buruk yang harus diobati.

Selanjutnya al-Ghazali menolak terhadap pendapat orang yang mengatakan bahwa akhlak tidak dapat diubah atau diperbaiki. Ia mengatakan, "Seandainya akhlak tidak mengalami perubahan, maka wasiat, nasihat, dan pendidikan tidak akan berarti apa-apa. Jika Rasulullah saw. bersabda, 'Perbaikilah akhlak kalian!' Bagaimana hal itu dipungkiri pada akhlak manusia, padahal perbaikan akhlak pada hewan pun dapat terjadi. Sebab, al-baziy (sejenis burung predator) dapat diubah dari hewan yang liar menjadi hewan yang jinak. Begitu pula dengan kuda dari hewan liar menjadi hewan yang jinak dan patuh. Semua itu merupakan contoh perubahan atau perbaikan akhlak.

Jadi, akhlak buruk bukanlah suatu hal yang pelihara, didukung, bahkan disetujui, namun mesti dikikis dan dihapus dengan dibiasakannya melaksanakan perilaku yang baik secara istiqamah. Proses pembiasaan seperti ini tentu saja tidak bisa dilakukan secara singkat tapi membutuhkan waktu, perjuangan, serta kesabaran yang tinggi. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (Q.S. An Nahl [16]: 90)