11 Maret 2013

TERAPI AKHLAK ALA AL-GHAZALI

Oleh MARSUDI FITRO WIBOWO

Harian Umum Pikiran Rakyat - Bandung
Jumat, 24 Agustus 2007

ALLAH SWT menetapkan manusia dengan kelebihan akal, ilmu, dan bentuk fisik. Manusia adalah makhluk paling utama di sisi Allah. Namun demikian, manusia masih memerlukan perlindungan Allah dari kejahatan setan. Apalagi kita, manusia yang minim ilmunya dan serba kekurangan, bahkan sering lalai. Sedangkan rasul pun tetap meminta perlindungan-Nya.

Sebagai insan biasa, barang siapa yang menginginkan keamanan, ketentraman, serta disayangi dan dihormati oleh sesama, sudah semestinya ia harus mengusahakan dalam pergaulannya dengan baik. Sebenarnya, hidup manusia sangat bergantung kepada pergaulan tersebut yang dapat memberikan pengaruh besar atas dirinya, sebagai lambang akhlak mulia (akhlaq al-karimah). Sebaliknya, jika yang tertanam akhlak buruk (akhlaq madzmumah) tentulah "dampak buruk" bagi si pelakunya akan selalu datang menerjang. Dari sinilah kita perlu intropeksi diri (muhasabah) dan memohon perlindungan kepada Allah SWT.

Imam al-Ghazali (1058-1111), salah seorang filosof dan pemikir Muslim memberikan definisi akhlak dalam bab riyaadhah al-nafs, adalah sebagai gambaran tentang kondisi (al-haiah) yang menetap di jiwa (al-nafs), yang semua perilaku bersumber darinya dengan penuh kemudahan tanpa memerlukan proses berpikir (fikr) dan merenung (rawiyyah). Jika kondisi yang menjadi sumber berbagai perilaku yang indah dan terpuji bersifat rasional dan syar'i, kondisi itu disebut akhlak yang baik. Sebaliknya, jika berbagai perilaku yang bersumber darinya buruk, kondisi yang menjadi sumber itu disebut akhlak yang buruk. (Ihyaa' 'Uluum al-Diin, III/2003: 48).

Adapun untuk memunculkan dan menguatkan akhlak yang terpuji sebagai pokok dasarnya al-Ghazali mengatakan, "Sesungguhnya induk dan prinsip akhlak ada beberapa, yaitu kebijaksanaan (al-hikmah), penjagaan diri (al-'iffah), dan keadilan (al-'adl). Kebijaksanaan adalah kondisi jiwa untuk memahami yang benar dari yang salah pada semua perilaku yang bersifat ikhtiar; keadilan adalah kondisi dan kekuatan jiwa untuk menghadapi emosi (al-ghadab) dan syahwat serta menguasainya atas dasar kebijaksanaan serta mengendalikannya melalui proses penyaluran dan penahanan sesuai dengan kebutuhan; keberanian adalah ketaatan kekuatan emosi terhadap akal pada saat nekad atau menahan diri; sedangkan penjagaan diri adalah terdidiknya kekuatan syahwat dengan pendidikan akal dan syariat." (Ihya' Ulumuddin, III/2003: 49).

Di sini sangat terlihat sekali bahwa situasi dan kondisi atau dalam pergaulan sehari-hari dapat memengaruhi baik dan buruknya kepada perilaku kita. Dalam karyanya yang lain, "Minhaaj al-'Aabidiin", Imam al-Ghazali berpesan, "Berhati-hatilah dalam bergaul. Sebab, seseorang seringkali mudah terpengaruh oleh ajakan dan kemauan orang lain. Sebagai contoh, mereka melakukan kejahatan, maka ia pun akan mengikutinya. Mereka berbuat maksiat, maka ia pun akan mengikuti perbuatan itu. Ia takut dikatakan tidak setia atau tidak solider jika tidak mengikuti perbuatan mereka. Demi orang lain, terkadang seseorang rela mengorbankan dan mengotori urusan akhiratnya." (Minhaajul 'Aabidiin, 1989: 91).

Al- Ghazali telah melukiskan metodenya dalam mengobati penyakit hati ini secara global. Menurutnya, metode itu berlawanan dengan keinginan dan kecenderungan jiwa. Allah SWT telah mengumpulkan hal itu di dalam Alquran, "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya." (Q.S. An-Naziat: 40-41)

Oleh karena itu, terapi akhlak atau perilaku yang buruk adalah dengan memaksakan diri melakukan perilaku atau akhlak yang baik dan bertentangan dengan yang hendak diobati, serta terus melakukanya sehingga menjadi sebuah kebiasaan dan tabiat. Dengan metode ini, akhlak atau perilaku buruk akan hilang dan digantikan dengan akhlak atau perilaku yang baik. Apabila akhlak buruk yang mesti diobati bersifat menetap atau kuat di dalam perilakunya, maka al-Ghazali menasihati untuk menerapkan metode al-tadrij (bertahap) dalam mengobatinya, yaitu dengan memindahkan si individu dari akhlak buruk kepada akhlak lain yang lebih ringan dan terus seperti itu, hingga akhirnya ia terbebas dari akhlak buruk yang harus diobati.

Selanjutnya al-Ghazali menolak terhadap pendapat orang yang mengatakan bahwa akhlak tidak dapat diubah atau diperbaiki. Ia mengatakan, "Seandainya akhlak tidak mengalami perubahan, maka wasiat, nasihat, dan pendidikan tidak akan berarti apa-apa. Jika Rasulullah saw. bersabda, 'Perbaikilah akhlak kalian!' Bagaimana hal itu dipungkiri pada akhlak manusia, padahal perbaikan akhlak pada hewan pun dapat terjadi. Sebab, al-baziy (sejenis burung predator) dapat diubah dari hewan yang liar menjadi hewan yang jinak. Begitu pula dengan kuda dari hewan liar menjadi hewan yang jinak dan patuh. Semua itu merupakan contoh perubahan atau perbaikan akhlak.

Jadi, akhlak buruk bukanlah suatu hal yang pelihara, didukung, bahkan disetujui, namun mesti dikikis dan dihapus dengan dibiasakannya melaksanakan perilaku yang baik secara istiqamah. Proses pembiasaan seperti ini tentu saja tidak bisa dilakukan secara singkat tapi membutuhkan waktu, perjuangan, serta kesabaran yang tinggi. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (Q.S. An Nahl [16]: 90)

09 Juni 2009

SEMANGAT KARTINI DAN POLITIK ETIS

-->


Oleh MARSUDI FITRO WIBOWO
Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung
Kamis, 21 April 2005

PADA akhir abad ke-19 telah terjadi perubahan politik di Negeri Belanda. Hal mana sangat mempengaruhi percaturan politik pemerintahan Belanda di negeri kita. "Politik Kolonial Liberal" telah ditanamkan dan diatur oleh Belanda sejak tahun 1870 --yang menekankan kesejahteraan orang pribumi sebagai suatu tanggung jawab moral dari pemerintah terhadap orang-orang Indonesia--berubah ke arah "Politik Kolonial Etis" yang menyatakan bahwa pemerintah memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. P. Broschooft, seorang redaktur harian de Locomotif di Semarang memberi nama kepada politik baru tersebut dan menekankan sikap keadilan yang harus dimiliki orang Eropa terhadap orang-orang Jawa yang lebih lemah.
RA. Kartini

Program itu dikenal juga dengan "politik bebas budi" yang terangkum dalam Trias Politika Deventer. Program ini meliputi, pertama, irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian; kedua, emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi; ketiga, memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi). Karena pemikiran inilah Deventer dikenal sebagai Bapak Politik Etis.

Akan tetapi, pelaksanaan dari "politik etis" ini tidak berhasil memperbaiki nasib bangsa Indonesia. Karena banyak dimanfaatkan oleh para penanam modal asing--seperti apa yang dikatakan Kuyper--sehingga rakyat masih tetap terpuruk dan hidup dalam kesengsaraan.

Walau demikian, pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di negeri kita. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J. H. Abendanon (1852-1925). Abendanon sempat menjadi direktur departemen pengajaran dan ibadah di Hindia Belanda (Indonesia) selama lima tahun (1900-1905).

J. H. Abendanon bersama istrinya Ny. Abendanon, telah banyak berjasa dalam menimbulkan kesadaran diri di kalangan bangsa Indonesia. Ia pun berusaha dalam memajukan perguruan terutama perguruan bagi wanita. Di antara orang terpelajar bangsa Indonesia yang mendapat bantuan dan perlindungan J. H. Abendanon dan istrinya adalah R. A. Kartini (1879-1904). Kartini yang menganjurkan perluasan pendidikan dan pengajaran bagi kaum wanita. Selain Kartini, juga Abdul Muis yang menjadi tokoh terkenal.

Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk "kaum priyayi" maupun "rakyat biasa" yang hampir merata. Sebelumnya memang sudah ada sekolah-sekolah, Herman Willem Daendels (1762-1818) yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal (1808-1811) menugaskan kepada para bupati di Jawa untuk mendirikan sekolah-sekolah dengan memberikan pendidikan berdasarkan undang-undang, adat istiadat, dan agama Islam yang meninggalkan cara pendidikan berdasarkan agama Kristen.

Namun, keadaan sekolah-sekolah tersebut sangat menyedihkan. Saat Inggris menduduki Indonesia (1811-1816) di bawah pimpinan Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), pendidikan kurang begitu diperhatikan dibanding kebudayaan. Hal ini dapat terlihat dalam karya terkenal Raffles, The History of Java (1817). Akibatnya, sekolah-sekolah yang pernah didirikan di bawah pimpinan Daendels saat itu hampir tidak ada lagi.

Memang, berdirinya sekolah-sekolah di negeri kita sudah berabad-abad lamanya, dan bukan di tanah Jawa saja. Dalam bukunya Educational Progress in South East Asia, sejarawan asal Inggris yang bernama Furnivall melukiskan keadaan pendidikan di Asia dan khususnya di Indonesia sebelum bangsa Eropa masuk ke Indonesia.

Dituliskannya, "sewaktu orang Eropa yang pertama-tama sampai di Timur jauh, di daerah khatulistiwa, mereka (orang-orang Eropa, pen.) dapati jumlah sekolah dan orang yang pandai baca tulis lebih banyak daripada yang ada di Eropa sendiri saat itu." Kebanyakan di antara mereka adalah kaum Muslim yang lebih banyak mengenal huruf Arab dan bentuk abjad-abjad lainnya, yang melahirkan karya-karya monumental.

Namun sejak kedatangan kolonialime, segalanya berubah. Sekolah saat itu diprioritaskan hanya untuk anak-anak pegawai pemerintah Belanda (kelas satu) dengan tujuan memperkuat kedudukan dan kekuasaan di tanah jajahannya. Sehingga Brugsman, dalam karyanya Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlands Indie (Sejarah pengajaran di Hindia Belanda) menyatakan, "peraturan sekolah pada tahun 1864 menetapkan sebagai pendidikan supaya murid-murid kelas satu sanggup dipekerjakan pada kebijakan (pemerintah, pen.) dan gereja.

Sejak tahun 1848, didirikanlah sekolah-sekolah di bawah pengawasan kolonial. Yang pertama didirikan di Jawa, selanjutnya di Sumatra, Sulawesi, Banda, Pulau Timor, dan lain-lain. Namun sekolah ini mengutamakan anak-anak Belanda dan anak pribumi yang kebanyakan dari golongan priyayi yang sangat jauh berbeda materi pelajarannya dan murid-muridnya pun masih sedikit sekali.

Tak heran seorang dari kelompok etis ini, Hoevell, dalam Tijdschrift van Nederlands Indie 1849 melancarkan kritikan yang pedas pada tahun 1846 atas perkembangan pendidikan dan sekolah rakyat (Inlandsche Scholen). Ia mengatakan, "Pemerintah hanya menyiapkan beberapa gelintir orang saja untuk menjalankan roda pemerintahan, tidak untuk memuaskan keinginan orang Jawa (Indonesia umumnya, pen.) dalam hal pendidikan." Maka tidaklah heran pula apabila jumlah murid-murid di daerah-daerah Indonesia yang dikuasai Belanda antara tahun 1846-1849 hanya berjumlah 155.355 dengan jumlah guru 102 orang.

Nasib gadis pribumi

Dari tahun ke tahun pendidikan di negeri ini berjalan apa adanya dalam kelas-kelas tertentu. Kebanyakan para murid dari golongan pria saja, sedangkan para gadis pribumi tidak seperti para gadis asing lainnya yang ikut mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Saat itu karena situasi politik yang tak menentu dan ditambah pengaruh adat yang kuat, menjadikan wanita pribumi terbelakang dalam bidang pendidikan. Wanita saat itu semata-mata hanya bertugas mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya. Setelah melanjutkan sekolah rendah, mereka menjadi gadis-gadis pingitan dan dipersiapkan masuk jenjang berikutnya, yakni berumah tangga.
Di sinilah bangkit sosok R.A. Kartini yang ingin membebaskan kaum wanita atas keterbelakangan dengan kaum pria serta ingin memajukan pendidikan kaum wanita yang tadinya sangat memprihatinkan. Ia terpengaruh oleh para gadis asing yang berpikiran maju selain banyaknya membaca buku dan berkomunikasi dengan orang-orang besar dan berpendidikan. Seperti, Mr. J. H. Abendanon dan istrinya dari golongan etis; Van Kol, pemimpin partai Sosial Demokrat; N. Andrini; Lessy, dan lain-lain
.
Kartini hendak mengubah adat lama yang menghalangi kemajuan bagi kaum wanita. Ia awali dengan memperjuangkan kemajuan dan kedudukan wanita bangsawan, sebab para wanita golongan biasa dengan sendirinya akan meniru kemajuan wanita bangsawan. Dalam mengejar cita-citanya Kartini mendirikan sekolah untuk para gadis bangsawan, dengan maksud para gadis pribumi di kemudian hari dapat memperbaiki kedudukan kaum wanita.

Cita-cita dan semangatnya tertuang dalam surat-surat yang ditulis dan dikirimkannya kepada sahabat-sahabatnya sejak umur 20 tahun (1899). Di antaranya adalah Mr. J. H. Abendanon dan istrinya. Dalam surat-suratnya dijelaskan tentang pergaulan lingkungan, keadaan rakyat yang terbelakang, minimnya pendidikan dan pengajaran bagi para gadis. Kartini pun mengecam para pejabat Balanda yang tidak menaruh perhatian kepada rakyat banyak, melainkan hanya menaruh kepada para bupati serta menunda-nunda perluasan pendidikan bagi orang bumiputra yang mereka anggap sangat membahayakan kedudukan pemerintah Belanda.

Surat-surat yang bernilai sejarah ini, kemudian dikumpulkan dan dibukukan oleh J. H. Abendanon bersama istrinya dan diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht. Kemudian pada tahun 1923 buku ini di cetak untuk keempat kalinya dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, dan Perancis, dan Indonesia yang di terjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang." Semangat dan pemikiran di dalamnya sangat berpengaruh dan banyak memberikan motivasi bagi kaum wanita.

Untuk memperingati jasa-jasanya sebagai peletak dasar bangkitnya kesadaran kaum wanita di negeri ini, pada tahun 1912 berdirilah Sekolah Kartini di Semarang atas dorongan Bapak Politik Etis, Mr. C.Th. van Deventer. Di samping itu berdiri pula Van Deventer Fonds di Semarang yang memiliki tujuan sama dengan Kartini Fonds yang berdiri di Den Haag pada tahun 1913 untuk membiayai Sekolah Kartini di Semarang, Jakarta, Bogor, Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Rembang, Malang, Surakarta, dan Surabaya.

Pengaruh dari politik etis dalam dunia pengajaran dan pendidikan memang sangat terlihat sekali. Banyak para tokoh dan orang Belanda berbalik simpati kepada negeri jajahannya, di antaranya Eduard Douwes Dekker dan Fransen van de Putte. Dari sini pula rakyat dari berbagai kalangan sedikit demi sedikit ikut merasakan pendidikan dan pengajaran. Tapi bagaimana dengan saat ini, sudah meratakah pendidikan di negeri yang kaya dan merdeka ini.***

MENELUSURI KEMBALI LAHIRNYA DASASILA BANDUNG

49 Tahun Lalu, Antipenjajahan Bergema di Bandung

MENELUSURI KEMBALI LAHIRNYA DASASILA BANDUNG


Oleh MARSUDI FITRO WIBOWO

Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung

Kamis, (Pahing) 15 April 2006


BERBICARA tentang Konferensi Asia Afrika (KAA) memang tidak bisa lepas dari situasi global dunia saat itu, di mana persaingan dan pertarungan antara dua negara adikuasa yang menamai dirinya sebagai Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat di pimpin oleh Amerika Serikat yang melibatkan Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Prancis, Belgia, dan negara-negara Eropa Barat lainnya, disebut sebagai kelompok Blok Demokrasi Merdeka.


Pada sisi lain adalah Blok Timur dengan negara-negara komunis, seperti Republik Rakyat Cina, Polandia, Cekoslovakia, dan negara-negara Eropa Timur lainnya, yang disebut sebagai kelompok Blok Demokrasi Rakyat. Tetapi tidak lama kemudian Blok Timur terpecah-pecah yang menjadi negara komunis yang berdiri sendiri, dan negara komunis yang berkiblat kepada Rusia dan berkiblat kepada Cina.


Sedangkan di luar dari itu ada juga negara-negara yang ingin bebas akan pengaruh-pengaruh dan intimidasi dari negara adikuasa tersebut seperti, Indonesia, Afganistan, Mesir, Birma, India, dan lain-lain. Di sinilah timbul kekuatan baru dari negara-negara yang ingin melepaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apa pun sebagai pencerahan di masa yang akan datang. Sebagai bukti adalah terwujudnya Konferensi Asia Afrika yang melahirkan Spirit of Bandung yang memberikan semangat kepada negara-negara Asia dan Afrika untuk melepaskan diri dari cengkraman kolonialisme dan imperialisme tersebut.


Lahirnya Semangat Bandung atau Spirit of Bandung adalah salah satu momentum paling penting dalam sejarah dunia. Dengan diprakarsai oleh lima negara Asia, yaitu Indonesia, Pakistan, India, Birma dan Sri lanka maka terwujudlah Konferensi Asia Afrika ini pada tanggal 18-24 April 1955 di Bandung.


Setahun sebelum dilaksanakan KAA, kelima negara tersebut mengadakan pertemuan dan persiapan-persiapan yang pertama kali direalisasikan pada bulan April 1954 di Kolombo (Sri Lanka). Sebagai persiapan KAA kelima negara peserta konferensi itu kemudian disebut sebagai negara Kolombo. Selanjutnya pada bulan Desember 1954 kelima negara tersebut mengadakan pertemuan kembali di Bogor, Jawa Barat, untuk membicarakan negara-negara mana yang akan diundang serta soal-soal apa yang akan dibicarakan dalam Konferensi Asia Afrika.


Dalam Konferensi Bogor inilah telah diambil beberapa keputusan, bahwa Konferensi Asia Afrika akan dilaksanakan di Bandung pada tahun 1955 (sebelum puasa Ramadan 1374 H). Di sini pula telah disepakati oleh kelima perdana menteri dalam Konferensi Bogor yang menetapkan maksud dan tujuan KAA, yaitu:

1. Memajukan kemauan baik dan kerja sama antara bangsa-bangsa Asia Afrika untuk memerhatikan serta memajukan kepentingan-kepentingan mereka, serta untuk menetapkan dan memajukan hubungan persahabatan sebagai tetangga yang baik;

2. Memajukan hubungan dan kerja sama di lapangan sosial, ekonomi, dan kebudayaan negara-negara yang diwakili;

3. Memperbincangkan soal-soal yang mengenai kedaulatan nasional dan masalah realisme dan kolonialisme;

4. Menegakkan kedudukan negara-negara Asia-Afrika dan rakyatnya dalam memberikan sumbangannya untuk memajukan perdamaian dan kerja sama di dunia.


KAA ini diketuai oleh Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo dan Roeslan Abdulgani (Sekretaris Jenderal Kementrian Luar Negeri) sebagai Sekretaris Jenderal, Mr. Muh. Yamin (Menteri P dan K) sebagai Ketua Panitia Kebudayaan dan Prof. Ir. Rooseno (Menteri Perekonomian) sebagai Ketua Panitia Perekonomian. Maka, seluruh KAA itu berlangsung di bawah tanggung jawab dan pimpinan pemerintah Republik Indonesia.

Kemudian pada tanggal 18 April 1995 bertepatan dengan hari Senin, Presiden RI Ir. Soekarno membuka KAA tersebut di Gedung Concordia Bandung yang dihadiri 29 negara Asia dan Afrika yang sebagian besar baru saja melepaskan dirinya dari penjajahan. Ke-29 negara tersebut adalah, dari Asia terdiri Indonesia, Sri Lanka, Pakistan, Birma, India, Jepang, RRC, Filipina, Vietnam Selatan, Vietnam Utara, Kamboja, Laos, Muangthai, Nepal, Afganistan, Iran, Irak, Turki, Suriah, Libanon, Saudi Arabia, Yordania, dan Yaman. Sedangkan dari Afrika, Mesir, Libia, Etiopia, Sudan (saat itu masih belum memiliki bendera kebangsaan), Gold Coast (Ghana), dan Liberia.

Semangat Bandung yang tertuang dalam 10 pasal dari Pernyataan Terakhir KAA, yang dikenal dengan 10 Prinsip Bandung atau Dasasila Bandung adalah hasil panitia politik yang dibentuk oleh panitia ad-hoc yang diketuai oleh ketua delegasi Mesir, Presiden Gamal Abdul Nasser. Panitia ini berhasil merumuskan usulan dan pendapat yang diajukan dalam panitia politik tentang "Problems of Dependent Nation" dan "Promotion of World Peace and Co-operation" (Soal bangsa-bangsa yang masih bergantung pada bangsa lain dan memajukan perdamaian serta kerja sama dunia).

Rumusan berisikan prinsip-prinsip hubungan internasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dalam bidang politik agar mampu memelihara dan memajukan perdamaian dan keamanan dunia, sedangkan dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan agar dapat memberikan sumbangan bagi tercapainya kesejahteraan bersama. Ke-10 prinsip atau yang dikenal dengan Dasasila Bandung ini adalah:

1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PPB.

2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.

3. Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa baik besar maupun kecil.

4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain.

5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.

6. a. Tidak menggunakan peraturan-peraturan pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus salah satu negara besar;

b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.

7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.

8. Mentelesaikan segala perseisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hukum atau cara damai lain-lain lagi menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuuai dengan Piagam PBB.

9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.

10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.


Dengan melihat 10 prinsip ini sungguh luar biasa sekali dan banyak hikmah yang dapat diambil. Kita lihat saja benua Afrika yang kala itu masih dalam cengkeraman penjajah. Kurang lebih 43 negara di Afrika hanya ada 5 negara yang merdeka, yaitu Afrika Selatan (1910), Mesir (Republik Persatuan Arab - 1922), Liberia dan Etiopia (1947), Libia (1951). Selebihnya masih dalam jajahan Inggris, Prancis, Belgia, Jerman, dll.


Maka munculnya "Semangat Bandung" mampu mengembuskan semangat merdeka untuk negara-negara Afrika yang masih dalam cengkeraman penjajah. Seperti halnya Maroko (1956), Guinea (1958), kemudian pada tahun-tahun selanjutnya banyak negara-negara Afrika yang melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan berkat Spirit of Bandung ini, seperti, Afrika Tengah, Somalia, Togo, Niger, Nigeria, Mali, Gabon, Kongo, Dahomey, Kamerun, Zaire, Mauritania, Chad, Somali, Volta Hulu, Brazzaville, Aljazair, Rwanda, Uganda, Malawi, Tanzania, Zambia, Gambia, Lesotho, Swaziland, dll.


**


DASAsila Bandung, secara politik memang boleh dikatakan sebagai kunci perdamaian, akan tetapi dalam bidang ekonomi negara-negara Asia-Afrika masih belum banyak berbuat apa-apa yang masih mengandalkan negara-negara lain di luar Asia dan Afrika itu sendiri. Intinya negara-negara Asia-Afrika telah merdeka namun dalam bidang ekonomi masih ada dalam genggaman kapitalis dan kolonialis negara-negara lain.


Pada abad milenium ini, kita tidak hanya terpaku terus-menerus akan sejarah dan kejadian masa lalu saja, baiknya tetapi kita mesti introspesksi serta berhati-hati dalam perkembangan dunia untuk sekarang maupun masa datang. Kalau kita lihat dan pelajari KAA penuh semangat untuk menumpas kolonialisme, namun pada hari ini dan selanjutnya mesti berlawanan dengan keterbelakangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan perang budaya.


Oleh karena itu semangat KAA ini hendaknya mampu menambah kekuatan solidaritas yang mudah-mudanhan dapat saling mendorong dan membantu di lingkungan negara-negara Asia-Afrika dalam berbagai segi, termasuk krisis Timur Tengah.


Untuk waktu ini betapa besarnya peluang dan persepsi, prospek dan masa depan Asia-Afrika, maka kita sangat mendambakan lahirnya generasi muda Asia-Afrika yang mampu menjawab tantangan masa depan bangsa dan negara-negara mereka. Generasi muda Asia Afrika, Bangkitlah!***

SEKILAS SEPAK TERJANG RAFFLES

In Memoriam 222 Tahun Silam Kelahiran Raffles

SEKILAS SEPAK TERJANG RAFFLES


Oleh MARSUDI FITRO WIBOWO

Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung

Minggu, 06 Oktober 2003



SEPAK terjang Raffles di negeri kita (1811-1824) sungguh luar biasa sekali walau waktunya hanya sebentar. Dengan kejadian ini kita harus berpikir apa hikmah atas semua yang telah terjadi. Jika kita uraikan secara rinci tentang Raffles tentulah panjang sekali. Namun, sekadar mengingat catatan sejarah, kita akan kembali ke abad ke-19.


Siapa yang tak kenal dengan Raffles atau Sir Thomas Stamford Raffles seorang ahli politik bangsa Inggris. Hari ini tanggal 6 Juli adalah tanggal kelahiran Raffles 222 tahun silam. Ia dilahirkan pada tanggal 6 Juli 1781 di atas sebuah kapal Ann di lepas pantai Jamaika, dengan kaptennya Benjamin Raffles yang sekaligus sebagai ayahnya sendiri. Kapal Ann yang memiliki berat 260 ton dan empat meriam. Raffles yang dikenal murah senyum ramah serta memerhatikan apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya.


Pada usia 14 tahun Raffles bekerja pada East India Company di London. Sepuluh tahun kemudian tepatnya tahun 1805, ia bekerja sebagai asisten sekretaris pada pemerintah jajahan di Pulau Penang. Di tahun 1806 Raffles diangkat menjadi sekretaris. Kemudian pada bulan September 1811 pihak Inggris mengangkatnya sebagai Lieutenant Governor of Java (Letnan Gubernur di Jawa) di bawah perintah Gubernur Jenderal Inggris Lord Minto di Madras India.


Sebelumnya, Daendels yang berkuasa dari tahun 1808 atas perintah Louis Napoleon pada tahun 1807 yang bertugas untuk memperbaiki pemeritnahan dan keuangan pemerintah jajahan. Daendels di tahun 1811 banyak ditentang oleh raja-raja di Jawa, seperti Hamengku Buwono II, Pangeran Natakusumah, dan para penguasa pribumi lainnya merencanakan untuk berontak terhadap Daendels. Hubungan Daendels dengan para raja Jawa sangatlah buruk yang memengaruhi kinerja Daendels untuk Belanda sehingga Daendels dipangil kembali ke Belanda dan digantikan oleh Jan Willem Janssens seorang gubernur jenderal yang diangkat oleh Napoleon untuk Hindia-Belanda dari tahun 1811.


Pergantian ini tidaklah seperti yang diduga yang akan lebih baik dari Daendels. Jansens menemui kesulitan-kesulitan, banyak ditentang oleh pemimpin dan rakyat pribumi. Tak lama kemudian datang tentara Inggris. Pasukan Inggris menyerang di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara), kemudian ia lari ke arah timur dan menyerah di Tuntang pada tahun 1811. Pada akhirnya pihak Inggris memercayakan kepada Sir Thomas Samford Raffles untuk memerintah di Hindia Belanda.


Tahun 1811-1816, Raffles yang menjabat sebagai letnan gubernur di Jawa serta daerah-daerah taklukannya, menerapkan landrente atau pajak bumi yang diadakan dengan dasar hukum adat Indoensia. Prinsip yang digunakan oleh Raffles adalah berdasarkan teori liberialisme, seperti yang dipraktikkan Inggris di India.


Pada periode ini (1811-1816) Raffles menerapkan untuk memungut pajak tanah atau landrente dengan berupa uang dari penduduk. Akan tetapi, dengan penerapan cara ini tidak memuaskannya sebab perputaran uang pada sat itu belum memadai dan berjalan lancar. Ia menetapkan bahwa semua tanah adalah kepunyaan negara dan rakyat sebagai pemakai tanah wajib membayar sewa kepada pemerintah sehingga pemimpin-pemimpin pribumi seperti kesultanan dan bupati yang tidak taat kepadanya pemerintahannya akan dipecat. Adapun daerahnya diperintah langsung dari Betawi.


Pengaruh Raffles di Tanah Jawa selain menerapkan landrente. Ia pun membagi Pulau Jawa dengan 16 buah keresidenan serta mengurangi bupati-bupati yang berkuasa. Kesultanan Banten dihapuskan, kedaulatan Kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada Inggris, Sultan Sepuh (Sultan Hamengkubuwono II) di Yogyakarta diasingkan ke Pulau Pinang (1812). Hal itu karena Sultan Sepuh bertentangan dengan Raffles. Sebagai gantinya, Sultan Hamengku Bowono III ayah dari Pangeran Diponegoro, Beliau meninggal (1814) hanya dua tahun memerintah. Kemudian diganti oleh adik Pangeran Diponegro yakni Pangeran Jarot.


Selain itu, separuh wilayah Yogyakarta diserahkan kepada Pangeran Natakusumah dengan maksud memperlemah Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Natakusumah yang diberi gelar Sri Paku Alam (1813). Kemudian Kesunanan Surakarta pun diperkecil kekuasaannya. Dalam pengaadilannya, Raffles menggunakan sistem jury sebagaimana yang diterapkan di Inggris.


Pada tahun 1816 Raffles harus menerima keputusan Konvensi London bahwa semua daerah di Indonesia yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan oleh pihak Inggris. Kecuali Bangka, Belitung, dan Bengkulu yang diterima oleh Inggris dari Sultan Najamuddin Palembang. Dalam Konvensi London ini sebenarnya Raffles tidak setuju karena ia mengetahui kekayaan-kekayaan Indonesia yang sangat menguntungkan Inggris. Raffles ditarik ke Inggris dan diganti oleh John Fendall yang melaksanakan keputusan konvensi ini sekaligus melakukan serah terima antara Belanda dan Inggris. Penyerahan itu dierima oleh tiga komisaris jenderal dari Belanda yaitu Kolonel G.P.J. Elout, Buyskes, dan G.A.G. Ph., Baron van der Capellen. Ketiganya menjalankan tugas di Indonesia hingga tahun 1819.


Pada tahun 1817, Raffles ditugaskan kembali ke Indonesia tepatnya di Bengkulu dengan jabatan letnan gubernur jenderal. Namun, demikian tujuannya tidak tercapai untuk menguasai negeri ini karena sukar menaklukkan Belanda yang berada di daerah timur Indonesia yang memiliki pengaruh besar sekali terhadap penerapan sistem-sistemnya. Akan tetapi, dengan semangatnya dia berhasil menguasai Selat Malaka sehingga pada tanggal 20 Februari 1819 dia menduduki Singapura yang kala itu masih wilayah Kesultanan Johor untuk dijadikan benteng Inggris Raya di Asia Tenggara baik dalam segi militer maupun ekonomi. Hal itu diketahi Belanda kemudian Inggris diprotes atas pendudukannya sebab Belanda khawatir jika daerah Singapura menjadi pelabuhan ramai yang akan menjadi saingan Belanda.


Karena protes Belanda ini, diadakanlah perundingan yang menghasilkan Traktat London pada tahun 1824, menetapkan (1) Belanda melepaskan hak-haknya atas Malaka, Sailan, Kaap Koloni, dan lain-lain. (2) Inggris melepaskan haknya atas Bangka, Belitung, dan Bengkulu. (3) Belanda tidak boleh mengganggu kedaulatan Aceh. (4) Belanda harus menjamin keamanan pelayaran di Selat Malaka.


Ini berarti Belanda tidak boleh menguasai Sumatera Utara dan Aceh. Jika hal ini terjadi, pihak Belanda akan menguasai Selat Malaka dan daerah-daerah sekitarnya. Maka, Inggris tidak ingin hal ini terjadi karena Selat Malaka ada dalam kekuasaan Inggris. Hak Inggris atas Singapura pun diakui Belanda. Dengan munculnya Traktat 1824, Raffles mundur dan kembali ke London hingga mengembuskan napas terakhirnya (1826).

**


KARYA Raffles yang terkenal History of Java (1817), buku yang pada awalnya lebih dikenal di Eropa maka negeri kita masyhur pula di sana dengan berbagai budayanya yang eksotis. Raffles yang sangat besar perhatiannya dengan budaya di Indoensia sehingga dia megembangkan Museum Ethnografi Jakarta yang hingga kini masih berdiri dan sebelumnya sudah ada lembaga kebudayaan yang bernama Koninklijk Bataviaasch Genootschap atau Bataviaasch Genotschap van Kunsten en Wetenschappen.


Akhir kata, betapa berat perjuangan para leluhur kita mempertahankan harga diri bangsa dengan penuh derita. Suatu perjuangan yang menumpahkan darah dan air mata, mencerai-beraikan harta dan keluarga, tetapi semangat tetap berkobar demi satu kemenangan yakni kemerdekaan. Bebas dari penjajahan, suatu harapan cerah untuk anak cucu di masa mendatang. Sementara zaman telah merdeka perang saudara semakin menjadi, banyak yang berbuat keji dalam sebangsa, aniaya, dusta menjadi-jadi, dan lain-lain.***

03 Juni 2009

JANJI NABI, WAHYU, DAN ILHAM



Oleh MARSUDI FITRO WIBOWO

Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung

Rabu, 31 Oktober 2007



BERANGKAT dari keabadian Islam, tidak ada lagi kemungkinan diutusnya nabi lain yang akan menghapus syariat Islam. Proposisi Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir didukung oleh kenyataan bahwa sebelum Islam tidak ada gerakan religius yang bersifat global --memang ada penyiar-penyiar agama, tetapi di antara mereka tidak ada yang berhasil. Akan tetapi, keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul Allah yang terakhir ini jelas sekali merupakan sebuah tanggung jawab yang berat terhadap orang-orang yang mengaku sebagai Muslim. Pengakuan ini lebih menitikberatkan kewajiban daripada keistimewaan seperti anggapan kaum Muslimin.


Semua nabi diutus dengan membawa agama Islam, baik dari orang-orang terdahulu maupun dari orang-orang terakhir. Para nabi itu tugas utamanya haruslah lebih diperhatikan dalam hal memberikan pertolongan kepada semua umat manusia dan mengeluarkan mereka dari alam kegelapan kepada cahaya. Maka dari itu selamanya mereka itu adalah merupakan pengajak atau penganjur kebaikan, pemimpin kebenaran, dan pembawa cahaya yang cemerlang di dalam kegelapan dunia yang merajalela.


Menurut Ibnu Taimiyah dalam al-'Ubudiyyah, "Para nabi adalah manusia pilihan. Mereka dipilih dan dimuliakan oleh Allah SWT dengan dijadikan-Nya sebagai nabi atau rasul." Mereka juga dianugerahi hikmah dan diberi kekuatan intelektualitas serta ketajaman berpikir. Mereka dijadikan Allah untuk menjadi penengah di antara-Nya dan makhluk-Nya. Tugas mereka adalah menyampaikan risalah dari Allah kepada makhluk-Nya dan memperingatkan mereka dari murka dan siksa-Nya. Mereka dibebani tugas menunjuki makhluk kepada apa yang membahagiakan mereka, baik di dunia maupun di akhirat.



Hakikat nabi penutup


Di dalam Islam disebutkan bahwa agama Islam tidak hanya merupakan penyempurna agama-agama terdahulu dan bahwa Nabi Muhammad saw merupakan Nabi Penutup (Khatm al-Nubuwwah). Dengan demikian, salah satu ajaran yang sangat pasti dalam Islam ialah berakhirnya mata rantai kenabian dengan diutusnya Nabi Muhammad saw dan tidak akan diutus lagi nabi setelah beliau.


Menurut Sayyid Sabiq dalam al-Aqaaid al-Islamiyyah, setiap nabi itu akan datang sesudah nabi yang lain, untuk lebih menyempurnakan apa yang telah dibina oleh nabi yang sebelumnya itu. Jadi, bagaikan memperbaiki bangunan, maka nabi yang baru datang itu seolah-olah sebagai penerus dan penyempurna, sehingga bangunan itu benar-benar sempurna. Sebagai penyempurna terakhir adalah junjungan kita Nabi Muhammad saw dan oleh sebab itu maka agama yang dibawa oleh beliau adalah sebagai perasaan atau intisari dari agama-agama (tauhid) yang telah lalu. Dakwahnya adalah dakwah yang sudah pasti akan kekal untuk selama-lamanya karena di dalamnya terkandung unsur-unsur kehidupan dan tiang-tiang kemaslahatan duniawiah dan ukhrawiah.


Dengan kesempurnaan dan kelengkapan agama itu, habislah kenubuwatan dan selesailah tugas kerasulan. Dalam hal ini Allah Ta'ala berfirman, "Muhammad bukanlah ayah seseorang dan laki-laki kalian, ia hanyalah rasul Allah dan penutup para nabi" (Q.S. Al-Ahzab: 40).


Manakala kenubuwatan sudah selesai, habis pulalah risalah dan oleh karenanya setelah Nabi Muhammad saw itu tidak ada lagi seorang yang diangkat oleh Allah sebagai seorang nabi dan tidak terdapat pula orang yang diberi tugas sebagai rasul atau utusan karena Nabi Muhammad adalah penghujung dari semua rasul Allah SWT.


Ketika terbukti bahwa beliau adalah penutup para nabi, maka dapat diketahui bahwa siapa pun yang mengaku nabi sesudahnya adalah pendusta. Menurut Imam al-Thahawiy yang dikutip oleh 'Abdul Akhir Hammad al-Ghunaymiy dalam al-Munhah al-Ilahiyyah fii Tahdzii Syarh al-Thahawiyyah, segala pengakuan nabi sesudah Nabi Muhammad saw adalah kesesatan (ghayy) dan ambisi syahwat (hawa). Al-Ghayy (kesesatan) adalah lawan dan al-Rusyd (petunjuk). Sedangkan hawa adalah ungkapan untuk ambisi nafsu. Artinya, pengakuan kenabian itu didasari ambisi syahwat, bukan karena dalil sehingga menjadi batil.


Oleh karena itu, kata M.T. Mishbaah Yazdiy (lihat Amuzesye Aqayid), terdapat falsafah atau hikmah di balik penutup para nabi (khatm al-Nabiyyiin) dan risalah ini. Pertama, dengan bantuan para khalifah dan pengikut-pengikut setia, Nabi Muhammad saw dapat menyampaikan risalahnya kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini. Kedua, kitab samawi Nabi Muhammad saw senantiasa terjamin utuh dari penyelewengan dan perubahan. Dan ketiga, syariat Islam dapat memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia hingga akhir masa.


Rasul terakhir


Allah SWT telah mewajibkan kepada umat Islam untuk beriman kepada para Rasul --sebelum Nabi Muhammad saw-- yang diutus oleh Allah tanpa membeda-bedakannya. Hal ini telah difirmankan dalam Q.S. Al-Baqarah: 136, 285. Namun, apabila seseorang sudah beriman kepada sebagian para Rasul dan sebagian lainnya tidak diyakini atau telah membeda-bedakan keimanannya terhadap seluruh rasul Allah SWT itu, maka jelas ia telah menjadi kafir, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nisa': 150-151.


Memang di antara sebagian rasul itu ada yang diceritakan Allah SWT yang kemudian disebutkan nama-namanya dan ada juga yang tidak diceritakan kepada kita. Soal ini bisa kita lihat dalam urutan Alquran, yakni Q.S. An-Nisa': 164, Al-An’am: 83-86, Ali 'Imran: 33, Al-A'raf: 65, Hud: 61, 84, Al-Anbiya': 85-86, dan Al-Ahzab: 40 yang menerangkan penutup para nabi dan rasul-Nya yang bunyinya, "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."


Lantas bagaimanakah hukuman Allah SWT terhadap orang-orang yang suka berbuat kerusakan dan melakukan pelanggaran serta mendakwakan nubuwah dan risalah secara dusta dan palsu, seperti halnya Musailamah al-Kadzdzab dan al-Aswad al-Ansy. Dua orang ini mengaku sebagai rasul Allah. Mereka diberi ancaman berupa siksa yang pedih di neraka jahanam, bahkan ketika mati pun mereka akan merasakan siksaan yang sangat keras. Soal ini bisa dibuka dalam firman Allah SWT Q.S. Al-An'am: 93.


Sudah jelas sekali bahwa Nabi Muhammad saw adalah rasul dan nabi Allah terakhir penutup para nabi (Khatm al-Nabiyyiin) sebagaimana tercatat dalam kitab-kitab Allah SWT sebelum Alquran diturunkan. Jika para nabi dan rasul yang telah diambil janji dan sumpahnya saja beriman kepada penutup para rasul dan memberitakan kedatangan beliau, lalu bagaimana mungkin pengikut-pengikut para nabi dari kalangan ahli kitab justru mendustakan dakwah dan risalah beliau? Atau bahkan dari kalangan umat Islam sendiri yang telah kufur mengingkari kebenarannya.


Padahal, Allah berfirman, "Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: 'Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya." Allah berfirman, 'Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?' Mereka menjawab, 'Kami mengakui.’ Allah berfirman, 'Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu'." (Q.S. Ali `Imran: 81).


Ibnu Abbas menerangkan bahwa Allah tidak mengutus seorang Nabi pun, melainkan mengambil perjanjian dan sumpah darinya. Bahwa sekiranya Allah mengutus Muhammad, sementara dia masih hidup, maka dia akan beriman kepada beliau (Nabi Muhammad saw) dan menolongnya, lalu Dia memerintahkannya untuk mengambil perjanjian dari umatnya, bahwa jika Muhammad diutus dan mereka masih hidup, maka mereka benar-benar akan beriman kepada beliau dan menolong beliau.


Ayat ini menunjukkan secara jelas bahwa Nabi Muhammad saw adalah pemimpin para nabi dan rasul; bahwa beliau memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada mereka; bahwa karena itu mereka harus mengikuti dan berlindung di bawah bendera beliau sekiranya mereka masih hidup.


Oleh karena itulah Nabi Muhammad bersabda dengan gaya bahasa tamanniy, "Sekiranya Musa dan Isa masih hidup, maka tidak ada pilihan bagi mereka selain mengikutiku." Allah pun telah memuji keagungan akhlak beliau yang tiada bandingannya dengan siapa pun, "Sungguh engkau (hai Muhammad) memiliki budi pekerti yang luhur" (Q.S. Al-Qalam: 4).


Kemudian bagaimana sikap Muslim saat ini jika ada seseorang yang mengaku sebagai nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad? Kita wajib tidak memercayainya, siapa pun dia dan dari mana pun dia datang! Perlu diingatkan kembali dalam hal ini mengenai perbedaan antara wahyu dan ilham. Pertama, wahyu sudah jelas datang dari Allah SWT yang tidak bisa diubah dan diganggu gugat kebenarannya. Wahyu diturunkan kepada para Rasul-Nya. Dalam hal ini Allah pun menjaganya.


Kedua, ilham bisa datang dari Allah bisa juga datang dari setan. Ilham bisa turun kepada siapa yang nilai kebenarannya bergantung kepada keteguhan, keyakinan, dan keistiqamahan, dalam menjalankan akidah (iman), syari'ah (Islam), dan akhlak (ihsan) yang baik. Ironisnya, bagaimana mungkin seseorang mendapat wangsit atau ilham jika ketiga pokok tersebut tidak dilaksanakan dengan baik. Pertanyaannya sekarang, darimanakah datangnya ilham itu jika tidak menjalankan perintah Allah dan hal-hal yang dicintai-Nya? Wallahu a'lam.***

01 Juni 2009

ANTARA SABAR DAN SYUKUR




Oleh MARSUDI FITRO WIBOWO
Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung
Jumat, (Wage) 29 Agustus 2008


SABAR adalah obat yang sangat manjur dan mendatangkan segala manfaat dan menolak segala madharat. Ia adalah salah satu sifat manusia yang beriman sebagai tanda manusia bertakwa. Barangsiapa menghiasi diri dengan sifat sabar maka ia akan mendapatkan ridha Allah, baik di dunia maupun di akhirat.

Adapun bersabar dalam hati adalah menahan diri dan tidak berkeluh kesah yang menurut para ulama dikarenakan hati goyah dalam menghadapi kesulitan. Ada juga yang berpendapat, gelisah dan mengeluh karena menginginkan penderitaan dan kesusahan itu cepat berakhir, serta tidak menyerahkan kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, benteng agar seseorang bersabar adalah senantiasa mengingat bahwa kesusahan dan kesulitan itu datangnya dari Allah, dan telah menjadi ketentuan Allah SWT. Bersabar atau tidak, tidak mempengaruhi ketentuan Allah yang tertulis pada lauh al-mahfudz sehingga berkeluh kesah tidak bermanfaat sama sekali, bahkan sangat membahayakan.

Dengan demikian, sabar adalah salah satu penopang penting dalam kehidupan manusia. Sabar ini dapat dilihat dengan jelas pada setiap amal perbuatan manusia, baik amal dalam menjalankan perintah agama, maupun dalam melangsungkan kehidupan di dunia seperti usaha mencari rezeki. Untuk melaksanakan kesabaran dengan mudah, seseorang harus melanggengkan takwa, keyakinan, dan meyakini dengan seyakin-yakinnya akan hasil baik yang didapatkan sebagai balasan atas sikap sabar. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. al-Lail: 5-7).

Banyak sekali ayat al-Quran yang mendorong umat Islam untuk bersabar. Allah menyebut orang-orang sabar dengan ragam makna dan sifat. Banyak sekali derajat tinggi dan kebaikan yang disandarkan dengan kata sabar. Yang oleh karenanya derajat tinggi dan kebaikan adalah buah dari sifat sabar. Disamping itu, Allah akan memberikan pahala dan balasan yang berlimpah bagi orang yang bersabar serta mengumpulkan banyak kebaikan dan pahala bagi orang mereka yang mampu bersabar.

Dengan demikian, orang yang bersabar akan mendapatkan penghormatan dari Allah SWT. baik selama di dunia maupun di akhirat kelak. Kini, menjadi lebih jelas bahwa kebaikan dunia dan akhirat terdapat dalam sifat sabar, yakni tahan uji dan bermental kuat. Bahkan, semua pahala ibadah kadar dan besarannya dikaitkan dan ditentukan dengan tingkat kesabaran seseorang. Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada pemberian Tuhan yang lebih luas dan lebih baik seperti yang diberikan kepada orang-orang yang bersabar." (HR. Bukhari).

Menurut al-Ghazali di dalam Minhaaj al-'Aabidiin-nya, sabar terbagi dalam empat bagian, yakni: pertama, bersabar menjalankan ketaatan; kedua, sabar menahan diri dari perbuatan maksiat; ketiga, sabar menahan diri dari godaan dunia; dan keempat, sabar menghadapi cobaan dan musibah.

Jadi, seseorang yang telah bisa bersabar dari empat macam tersebut, berarti ia telah benar-benar taat. Ia bakal mendapat pahala, terhindar dari perbuatan maksiat, dan terhindar dari bahaya-bahaya dunia, serta tuntutan-tuntutan akhirat. Selain itu, Allah telah mengujinya dengan sifat tamak terhadap dunia, pada saat dirinya diliputi keragu-raguan. Seseorang yang lemah, tidak bisa bersabar, tidak akan mendapatkan manfaat-manfaat sikap bersabar. Ia akan terkena mudarat karena tidak kuat menanggung kesulitan-kesulitan yang timbul dari sikap taat. Ia hanya menginginkan manfaat, sedang bersikap sabar, ia tidak sanggup, apalagi memeliharanya. Berarti merusak. Sehingga ia tidak akan sampai ke kedudukan yang mulia, yakni derajat teguh. Allah SWT berfirman, “Kami balas orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-Nahl: 96)

Sabar atau Syukur yang Utama?

Sesungguhnya syukur itu mengagungkan Allah Yang Memberi Nikmat, yakni mengukur nikmat-Nya agar kita tidak menjauhkan diri dan tidak bersifat kufur. Lantas kapan kita harus bersyukur? Kita wajib bersyukur tatkala mendapatkan kenikmatan, baik kenikmatan dunia maupun kenikmatan agama (akhirat). Sebagian ulama mengatakan, “Dalam keadaan menderita (ditimpa musibah) kita tidak perlu mensyukuri, tetapi kewajiban kita adalah bersabar menghadapi musibah itu.” Kata mereka selanjutnya, “Di dalam setiap kemudaratan selalu terkandung kenikmatan. Dan kita wajib mensyukuri nikmat itu, meskipun datangnya bersamaan dengan musibah.” Dengan demikian, manakah yang utama bersyukur atau bersabar?

Al-Ghazali dalam Ihyaa'-nya menyebutkan, “Manusia berbeda pendapat dalam memandang masalah ini. Sebagian orang mengatakan, 'sabar lebih utama daripada syukur.' Sebagian yang lain mengatakan, 'syukur lebih utama daripada sabar'. Dan sebagian yang lain lagi mengatakan, 'keduanya sederajat'.” Dalam pendapat lain, jika sabar disandarkan pada syukur yang melahirkan ketaatan maka syukur itu lebih utama karena dalam syukur terkandung sabar. Selain itu, syukur pertanda kegirangan dalam menerima nikmat Allah. Di dalam syukur juga terkandung kemampuan menanggung sakit.

Adapun di dalam Minhaaj-nya al-Ghazali menuturkan bahwa orang yang bersyukur adalah yang bersabar. Begitu juga orang yang bersabar pada hakikatnya adalah orang yang bersyukur. Dengan demikian, memang antara sabar dan syukur itu tidak dapat dipisahkan. Sebab, bersyukur terhadap berbagai macam cobaan dunia, berarti juga bersabar. Sesuai dengan makna besyukur itu sendiri, yakni mengagungkan kepada Pemberi Nikmat. Seorang penyabar tidak akan sepi dari nikmat. Dengan demikian, apabila bersabar dalam menerima derita, berarti pula bersyukur dan menahan diri tidak mengeluh, semata-mata karena mengagungkan Allah SWT.

Al-Ghazali menyebutkan semua pendapat di atas. Namun beliau tidak menegaskan pendapat manakah yang menurut pandangannya paling benar dan kuat. Bahkan ia mengatakan, “Setiap pendapat di atas mempunyai alasan. Bisa jadi orang miskin yang sabar lebih utama daripada orang kaya yang bersyukur. Sebaliknya, bisa juga orang kaya yang bersyukur lebih utama daripada orang miskin yang sabar.” Oleh karena itu, cobaan dan kemiskinan terkadang membuat manusia berkeluh kesah serta ragu akan kekuasaan Allah Swt. Adapun mengenai kesehatan dan kekayaan memperkuat hubungan seorang hamba dengan penciptanya.

Hal ini betapa perlunya sabar dan syukur. Perlunya kesabaran dikarenakan dua hal: pertama, agar sampai ke tujuan ibadah. Sebab, dasar dari ibadah adalah bersabar dan sanggup menanggung penderitaan serta kesulitan. Orang yang tidak bersabar, tidak tahan uji, tidak akan sampai ke tujuan. Sebab, seseorang yang sudah berniat hendak beribadah pasti akan menghadapi berbagai ujian dan kesukaran dari berbagai segi; dan kedua, karena bersabar, akan membawa keberuntungan, baik selama di dunia maupun di akhirat. Di antaranya adalah keselamatan dan berhasil mencapai tujuan. Adapun perlunya bersyukur dikarenakan dua hal pula: pertama, agar kekal kenikmatan yang sangat besar itu. Sebab, jika tidak disyukuri, akan hilang; dan kedua agar nikmat yang telah kita dapatkan bertambah. Wallaahu'alam.***