Oleh MARSUDI FITRO WIBOWO
Harian Umum Pikiran Rakyat - Bandung
Jumat, 24 Agustus 2007
ALLAH
SWT menetapkan manusia dengan kelebihan akal, ilmu, dan bentuk fisik.
Manusia adalah makhluk paling utama di sisi Allah. Namun demikian,
manusia masih memerlukan perlindungan Allah dari kejahatan setan.
Apalagi kita, manusia yang minim ilmunya dan serba kekurangan, bahkan
sering lalai. Sedangkan rasul pun tetap meminta perlindungan-Nya.
Sebagai
insan biasa, barang siapa yang menginginkan keamanan, ketentraman,
serta disayangi dan dihormati oleh sesama, sudah semestinya ia harus
mengusahakan dalam pergaulannya dengan baik. Sebenarnya, hidup manusia
sangat bergantung kepada pergaulan tersebut yang dapat memberikan
pengaruh besar atas dirinya, sebagai lambang akhlak mulia (akhlaq
al-karimah). Sebaliknya, jika yang tertanam akhlak buruk (akhlaq
madzmumah) tentulah "dampak buruk" bagi si pelakunya akan selalu datang
menerjang. Dari sinilah kita perlu intropeksi diri (muhasabah) dan
memohon perlindungan kepada Allah SWT.
Imam al-Ghazali
(1058-1111), salah seorang filosof dan pemikir Muslim memberikan
definisi akhlak dalam bab riyaadhah al-nafs, adalah sebagai gambaran
tentang kondisi (al-haiah) yang menetap di jiwa (al-nafs), yang semua
perilaku bersumber darinya dengan penuh kemudahan tanpa memerlukan
proses berpikir (fikr) dan merenung (rawiyyah). Jika kondisi yang
menjadi sumber berbagai perilaku yang indah dan terpuji bersifat
rasional dan syar'i, kondisi itu disebut akhlak yang baik. Sebaliknya,
jika berbagai perilaku yang bersumber darinya buruk, kondisi yang
menjadi sumber itu disebut akhlak yang buruk. (Ihyaa' 'Uluum al-Diin,
III/2003: 48).
Adapun untuk memunculkan dan menguatkan akhlak
yang terpuji sebagai pokok dasarnya al-Ghazali mengatakan, "Sesungguhnya
induk dan prinsip akhlak ada beberapa, yaitu kebijaksanaan (al-hikmah),
penjagaan diri (al-'iffah), dan keadilan (al-'adl). Kebijaksanaan
adalah kondisi jiwa untuk memahami yang benar dari yang salah pada semua
perilaku yang bersifat ikhtiar; keadilan adalah kondisi dan kekuatan
jiwa untuk menghadapi emosi (al-ghadab) dan syahwat serta menguasainya
atas dasar kebijaksanaan serta mengendalikannya melalui proses
penyaluran dan penahanan sesuai dengan kebutuhan; keberanian adalah
ketaatan kekuatan emosi terhadap akal pada saat nekad atau menahan diri;
sedangkan penjagaan diri adalah terdidiknya kekuatan syahwat dengan
pendidikan akal dan syariat." (Ihya' Ulumuddin, III/2003: 49).
Di
sini sangat terlihat sekali bahwa situasi dan kondisi atau dalam
pergaulan sehari-hari dapat memengaruhi baik dan buruknya kepada
perilaku kita. Dalam karyanya yang lain, "Minhaaj al-'Aabidiin", Imam
al-Ghazali berpesan, "Berhati-hatilah dalam bergaul. Sebab, seseorang
seringkali mudah terpengaruh oleh ajakan dan kemauan orang lain. Sebagai
contoh, mereka melakukan kejahatan, maka ia pun akan mengikutinya.
Mereka berbuat maksiat, maka ia pun akan mengikuti perbuatan itu. Ia
takut dikatakan tidak setia atau tidak solider jika tidak mengikuti
perbuatan mereka. Demi orang lain, terkadang seseorang rela mengorbankan
dan mengotori urusan akhiratnya." (Minhaajul 'Aabidiin, 1989: 91).
Al-
Ghazali telah melukiskan metodenya dalam mengobati penyakit hati ini
secara global. Menurutnya, metode itu berlawanan dengan keinginan dan
kecenderungan jiwa. Allah SWT telah mengumpulkan hal itu di dalam
Alquran, "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya
dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya
surgalah tempat tinggalnya." (Q.S. An-Naziat: 40-41)
Oleh karena
itu, terapi akhlak atau perilaku yang buruk adalah dengan memaksakan
diri melakukan perilaku atau akhlak yang baik dan bertentangan dengan
yang hendak diobati, serta terus melakukanya sehingga menjadi sebuah
kebiasaan dan tabiat. Dengan metode ini, akhlak atau perilaku buruk akan
hilang dan digantikan dengan akhlak atau perilaku yang baik. Apabila
akhlak buruk yang mesti diobati bersifat menetap atau kuat di dalam
perilakunya, maka al-Ghazali menasihati untuk menerapkan metode
al-tadrij (bertahap) dalam mengobatinya, yaitu dengan memindahkan si
individu dari akhlak buruk kepada akhlak lain yang lebih ringan dan
terus seperti itu, hingga akhirnya ia terbebas dari akhlak buruk yang
harus diobati.
Selanjutnya al-Ghazali menolak terhadap pendapat
orang yang mengatakan bahwa akhlak tidak dapat diubah atau diperbaiki.
Ia mengatakan, "Seandainya akhlak tidak mengalami perubahan, maka
wasiat, nasihat, dan pendidikan tidak akan berarti apa-apa. Jika
Rasulullah saw. bersabda, 'Perbaikilah akhlak kalian!' Bagaimana hal itu
dipungkiri pada akhlak manusia, padahal perbaikan akhlak pada hewan pun
dapat terjadi. Sebab, al-baziy (sejenis burung predator) dapat diubah
dari hewan yang liar menjadi hewan yang jinak. Begitu pula dengan kuda
dari hewan liar menjadi hewan yang jinak dan patuh. Semua itu merupakan
contoh perubahan atau perbaikan akhlak.
Jadi, akhlak buruk
bukanlah suatu hal yang pelihara, didukung, bahkan disetujui, namun
mesti dikikis dan dihapus dengan dibiasakannya melaksanakan perilaku
yang baik secara istiqamah. Proses pembiasaan seperti ini tentu saja
tidak bisa dilakukan secara singkat tapi membutuhkan waktu, perjuangan,
serta kesabaran yang tinggi. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran." (Q.S. An Nahl [16]: 90)