49 Tahun Lalu, Antipenjajahan Bergema di Bandung
MENELUSURI KEMBALI LAHIRNYA DASASILA BANDUNG
Oleh MARSUDI FITRO WIBOWO
Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung
Kamis, (Pahing) 15 April 2006
BERBICARA tentang Konferensi Asia Afrika (KAA) memang tidak bisa lepas dari situasi global dunia saat itu, di mana persaingan dan pertarungan antara dua negara adikuasa yang menamai dirinya sebagai Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat di pimpin oleh Amerika Serikat yang melibatkan Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Prancis, Belgia, dan negara-negara Eropa Barat lainnya, disebut sebagai kelompok Blok Demokrasi Merdeka.
Pada sisi lain adalah Blok Timur dengan negara-negara komunis, seperti Republik Rakyat Cina, Polandia, Cekoslovakia, dan negara-negara Eropa Timur lainnya, yang disebut sebagai kelompok Blok Demokrasi Rakyat. Tetapi tidak lama kemudian Blok Timur terpecah-pecah yang menjadi negara komunis yang berdiri sendiri, dan negara komunis yang berkiblat kepada Rusia dan berkiblat kepada Cina.
Sedangkan di luar dari itu ada juga negara-negara yang ingin bebas akan pengaruh-pengaruh dan intimidasi dari negara adikuasa tersebut seperti, Indonesia, Afganistan, Mesir, Birma, India, dan lain-lain. Di sinilah timbul kekuatan baru dari negara-negara yang ingin melepaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apa pun sebagai pencerahan di masa yang akan datang. Sebagai bukti adalah terwujudnya Konferensi Asia Afrika yang melahirkan Spirit of Bandung yang memberikan semangat kepada negara-negara Asia dan Afrika untuk melepaskan diri dari cengkraman kolonialisme dan imperialisme tersebut.
Lahirnya Semangat Bandung atau Spirit of Bandung adalah salah satu momentum paling penting dalam sejarah dunia. Dengan diprakarsai oleh lima negara Asia, yaitu Indonesia, Pakistan, India, Birma dan Sri lanka maka terwujudlah Konferensi Asia Afrika ini pada tanggal 18-24 April 1955 di Bandung.
Setahun sebelum dilaksanakan KAA, kelima negara tersebut mengadakan pertemuan dan persiapan-persiapan yang pertama kali direalisasikan pada bulan April 1954 di Kolombo (Sri Lanka). Sebagai persiapan KAA kelima negara peserta konferensi itu kemudian disebut sebagai negara Kolombo. Selanjutnya pada bulan Desember 1954 kelima negara tersebut mengadakan pertemuan kembali di Bogor, Jawa Barat, untuk membicarakan negara-negara mana yang akan diundang serta soal-soal apa yang akan dibicarakan dalam Konferensi Asia Afrika.
Dalam Konferensi Bogor inilah telah diambil beberapa keputusan, bahwa Konferensi Asia Afrika akan dilaksanakan di Bandung pada tahun 1955 (sebelum puasa Ramadan 1374 H). Di sini pula telah disepakati oleh kelima perdana menteri dalam Konferensi Bogor yang menetapkan maksud dan tujuan KAA, yaitu:
1. Memajukan kemauan baik dan kerja sama antara bangsa-bangsa Asia Afrika untuk memerhatikan serta memajukan kepentingan-kepentingan mereka, serta untuk menetapkan dan memajukan hubungan persahabatan sebagai tetangga yang baik;
2. Memajukan hubungan dan kerja sama di lapangan sosial, ekonomi, dan kebudayaan negara-negara yang diwakili;
3. Memperbincangkan soal-soal yang mengenai kedaulatan nasional dan masalah realisme dan kolonialisme;
4. Menegakkan kedudukan negara-negara Asia-Afrika dan rakyatnya dalam memberikan sumbangannya untuk memajukan perdamaian dan kerja sama di dunia.
KAA ini diketuai oleh Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo dan Roeslan Abdulgani (Sekretaris Jenderal Kementrian Luar Negeri) sebagai Sekretaris Jenderal, Mr. Muh. Yamin (Menteri P dan K) sebagai Ketua Panitia Kebudayaan dan Prof. Ir. Rooseno (Menteri Perekonomian) sebagai Ketua Panitia Perekonomian. Maka, seluruh KAA itu berlangsung di bawah tanggung jawab dan pimpinan pemerintah Republik Indonesia.
Kemudian pada tanggal 18 April 1995 bertepatan dengan hari Senin, Presiden RI Ir. Soekarno membuka KAA tersebut di Gedung Concordia Bandung yang dihadiri 29 negara Asia dan Afrika yang sebagian besar baru saja melepaskan dirinya dari penjajahan. Ke-29 negara tersebut adalah, dari Asia terdiri Indonesia, Sri Lanka, Pakistan, Birma, India, Jepang, RRC, Filipina, Vietnam Selatan, Vietnam Utara, Kamboja, Laos, Muangthai, Nepal, Afganistan, Iran, Irak, Turki, Suriah, Libanon, Saudi Arabia, Yordania, dan Yaman. Sedangkan dari Afrika, Mesir, Libia, Etiopia, Sudan (saat itu masih belum memiliki bendera kebangsaan), Gold Coast (Ghana), dan Liberia.
Semangat Bandung yang tertuang dalam 10 pasal dari Pernyataan Terakhir KAA, yang dikenal dengan 10 Prinsip Bandung atau Dasasila Bandung adalah hasil panitia politik yang dibentuk oleh panitia ad-hoc yang diketuai oleh ketua delegasi Mesir, Presiden Gamal Abdul Nasser. Panitia ini berhasil merumuskan usulan dan pendapat yang diajukan dalam panitia politik tentang "Problems of Dependent Nation" dan "Promotion of World Peace and Co-operation" (Soal bangsa-bangsa yang masih bergantung pada bangsa lain dan memajukan perdamaian serta kerja sama dunia).
Rumusan berisikan prinsip-prinsip hubungan internasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dalam bidang politik agar mampu memelihara dan memajukan perdamaian dan keamanan dunia, sedangkan dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan agar dapat memberikan sumbangan bagi tercapainya kesejahteraan bersama. Ke-10 prinsip atau yang dikenal dengan Dasasila Bandung ini adalah:
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PPB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
3. Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa baik besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain.
5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.
6. a. Tidak menggunakan peraturan-peraturan pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus salah satu negara besar;
b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
8. Mentelesaikan segala perseisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hukum atau cara damai lain-lain lagi menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Dengan melihat 10 prinsip ini sungguh luar biasa sekali dan banyak hikmah yang dapat diambil. Kita lihat saja benua Afrika yang kala itu masih dalam cengkeraman penjajah. Kurang lebih 43 negara di Afrika hanya ada 5 negara yang merdeka, yaitu Afrika Selatan (1910), Mesir (Republik Persatuan Arab - 1922), Liberia dan Etiopia (1947), Libia (1951). Selebihnya masih dalam jajahan Inggris, Prancis, Belgia, Jerman, dll.
Maka munculnya "Semangat Bandung" mampu mengembuskan semangat merdeka untuk negara-negara Afrika yang masih dalam cengkeraman penjajah. Seperti halnya Maroko (1956), Guinea (1958), kemudian pada tahun-tahun selanjutnya banyak negara-negara Afrika yang melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan berkat Spirit of Bandung ini, seperti, Afrika Tengah, Somalia, Togo, Niger, Nigeria, Mali, Gabon, Kongo, Dahomey, Kamerun, Zaire, Mauritania, Chad, Somali, Volta Hulu, Brazzaville, Aljazair, Rwanda, Uganda, Malawi, Tanzania, Zambia, Gambia, Lesotho, Swaziland, dll.
**
DASAsila Bandung, secara politik memang boleh dikatakan sebagai kunci perdamaian, akan tetapi dalam bidang ekonomi negara-negara Asia-Afrika masih belum banyak berbuat apa-apa yang masih mengandalkan negara-negara lain di luar Asia dan Afrika itu sendiri. Intinya negara-negara Asia-Afrika telah merdeka namun dalam bidang ekonomi masih ada dalam genggaman kapitalis dan kolonialis negara-negara lain.
Pada abad milenium ini, kita tidak hanya terpaku terus-menerus akan sejarah dan kejadian masa lalu saja, baiknya tetapi kita mesti introspesksi serta berhati-hati dalam perkembangan dunia untuk sekarang maupun masa datang. Kalau kita lihat dan pelajari KAA penuh semangat untuk menumpas kolonialisme, namun pada hari ini dan selanjutnya mesti berlawanan dengan keterbelakangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan perang budaya.
Oleh karena itu semangat KAA ini hendaknya mampu menambah kekuatan solidaritas yang mudah-mudanhan dapat saling mendorong dan membantu di lingkungan negara-negara Asia-Afrika dalam berbagai segi, termasuk krisis Timur Tengah.