Oleh MARSUDI FITRO WIBOWO
Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung
Kamis, 21 April 2005
PADA akhir abad ke-19 telah terjadi perubahan politik di Negeri Belanda. Hal mana sangat mempengaruhi percaturan politik pemerintahan Belanda di negeri kita. "Politik Kolonial Liberal" telah ditanamkan dan diatur oleh Belanda sejak tahun 1870 --yang menekankan kesejahteraan orang pribumi sebagai suatu tanggung jawab moral dari pemerintah terhadap orang-orang Indonesia--berubah ke arah "Politik Kolonial Etis" yang menyatakan bahwa pemerintah memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. P. Broschooft, seorang redaktur harian de Locomotif di Semarang memberi nama kepada politik baru tersebut dan menekankan sikap keadilan yang harus dimiliki orang Eropa terhadap orang-orang Jawa yang lebih lemah.
Program itu dikenal juga dengan "politik bebas budi" yang terangkum dalam Trias Politika Deventer. Program ini meliputi, pertama, irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian; kedua, emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi; ketiga, memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi). Karena pemikiran inilah Deventer dikenal sebagai Bapak Politik Etis.
Akan tetapi, pelaksanaan dari "politik etis" ini tidak berhasil memperbaiki nasib bangsa Indonesia. Karena banyak dimanfaatkan oleh para penanam modal asing--seperti apa yang dikatakan Kuyper--sehingga rakyat masih tetap terpuruk dan hidup dalam kesengsaraan.
Walau demikian, pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di negeri kita. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J. H. Abendanon (1852-1925). Abendanon sempat menjadi direktur departemen pengajaran dan ibadah di Hindia Belanda (Indonesia) selama lima tahun (1900-1905).
J. H. Abendanon bersama istrinya Ny. Abendanon, telah banyak berjasa dalam menimbulkan kesadaran diri di kalangan bangsa Indonesia. Ia pun berusaha dalam memajukan perguruan terutama perguruan bagi wanita. Di antara orang terpelajar bangsa Indonesia yang mendapat bantuan dan perlindungan J. H. Abendanon dan istrinya adalah R. A. Kartini (1879-1904). Kartini yang menganjurkan perluasan pendidikan dan pengajaran bagi kaum wanita. Selain Kartini, juga Abdul Muis yang menjadi tokoh terkenal.
Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk "kaum priyayi" maupun "rakyat biasa" yang hampir merata. Sebelumnya memang sudah ada sekolah-sekolah, Herman Willem Daendels (1762-1818) yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal (1808-1811) menugaskan kepada para bupati di Jawa untuk mendirikan sekolah-sekolah dengan memberikan pendidikan berdasarkan undang-undang, adat istiadat, dan agama Islam yang meninggalkan cara pendidikan berdasarkan agama Kristen.
Namun, keadaan sekolah-sekolah tersebut sangat menyedihkan. Saat Inggris menduduki Indonesia (1811-1816) di bawah pimpinan Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), pendidikan kurang begitu diperhatikan dibanding kebudayaan. Hal ini dapat terlihat dalam karya terkenal Raffles, The History of Java (1817). Akibatnya, sekolah-sekolah yang pernah didirikan di bawah pimpinan Daendels saat itu hampir tidak ada lagi.
Memang, berdirinya sekolah-sekolah di negeri kita sudah berabad-abad lamanya, dan bukan di tanah Jawa saja. Dalam bukunya Educational Progress in South East Asia, sejarawan asal Inggris yang bernama Furnivall melukiskan keadaan pendidikan di Asia dan khususnya di Indonesia sebelum bangsa Eropa masuk ke Indonesia.
Dituliskannya, "sewaktu orang Eropa yang pertama-tama sampai di Timur jauh, di daerah khatulistiwa, mereka (orang-orang Eropa, pen.) dapati jumlah sekolah dan orang yang pandai baca tulis lebih banyak daripada yang ada di Eropa sendiri saat itu." Kebanyakan di antara mereka adalah kaum Muslim yang lebih banyak mengenal huruf Arab dan bentuk abjad-abjad lainnya, yang melahirkan karya-karya monumental.
Namun sejak kedatangan kolonialime, segalanya berubah. Sekolah saat itu diprioritaskan hanya untuk anak-anak pegawai pemerintah Belanda (kelas satu) dengan tujuan memperkuat kedudukan dan kekuasaan di tanah jajahannya. Sehingga Brugsman, dalam karyanya Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlands Indie (Sejarah pengajaran di Hindia Belanda) menyatakan, "peraturan sekolah pada tahun 1864 menetapkan sebagai pendidikan supaya murid-murid kelas satu sanggup dipekerjakan pada kebijakan (pemerintah, pen.) dan gereja.
Sejak tahun 1848, didirikanlah sekolah-sekolah di bawah pengawasan kolonial. Yang pertama didirikan di Jawa, selanjutnya di Sumatra, Sulawesi, Banda, Pulau Timor, dan lain-lain. Namun sekolah ini mengutamakan anak-anak Belanda dan anak pribumi yang kebanyakan dari golongan priyayi yang sangat jauh berbeda materi pelajarannya dan murid-muridnya pun masih sedikit sekali.
Tak heran seorang dari kelompok etis ini, Hoevell, dalam Tijdschrift van Nederlands Indie 1849 melancarkan kritikan yang pedas pada tahun 1846 atas perkembangan pendidikan dan sekolah rakyat (Inlandsche Scholen). Ia mengatakan, "Pemerintah hanya menyiapkan beberapa gelintir orang saja untuk menjalankan roda pemerintahan, tidak untuk memuaskan keinginan orang Jawa (Indonesia umumnya, pen.) dalam hal pendidikan." Maka tidaklah heran pula apabila jumlah murid-murid di daerah-daerah Indonesia yang dikuasai Belanda antara tahun 1846-1849 hanya berjumlah 155.355 dengan jumlah guru 102 orang.
Nasib gadis pribumi
Dari tahun ke tahun pendidikan di negeri ini berjalan apa adanya dalam kelas-kelas tertentu. Kebanyakan para murid dari golongan pria saja, sedangkan para gadis pribumi tidak seperti para gadis asing lainnya yang ikut mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Saat itu karena situasi politik yang tak menentu dan ditambah pengaruh adat yang kuat, menjadikan wanita pribumi terbelakang dalam bidang pendidikan. Wanita saat itu semata-mata hanya bertugas mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya. Setelah melanjutkan sekolah rendah, mereka menjadi gadis-gadis pingitan dan dipersiapkan masuk jenjang berikutnya, yakni berumah tangga.
Di sinilah bangkit sosok R.A. Kartini yang ingin membebaskan kaum wanita atas keterbelakangan dengan kaum pria serta ingin memajukan pendidikan kaum wanita yang tadinya sangat memprihatinkan. Ia terpengaruh oleh para gadis asing yang berpikiran maju selain banyaknya membaca buku dan berkomunikasi dengan orang-orang besar dan berpendidikan. Seperti, Mr. J. H. Abendanon dan istrinya dari golongan etis; Van Kol, pemimpin partai Sosial Demokrat; N. Andrini; Lessy, dan lain-lain
.
Kartini hendak mengubah adat lama yang menghalangi kemajuan bagi kaum wanita. Ia awali dengan memperjuangkan kemajuan dan kedudukan wanita bangsawan, sebab para wanita golongan biasa dengan sendirinya akan meniru kemajuan wanita bangsawan. Dalam mengejar cita-citanya Kartini mendirikan sekolah untuk para gadis bangsawan, dengan maksud para gadis pribumi di kemudian hari dapat memperbaiki kedudukan kaum wanita.
Cita-cita dan semangatnya tertuang dalam surat-surat yang ditulis dan dikirimkannya kepada sahabat-sahabatnya sejak umur 20 tahun (1899). Di antaranya adalah Mr. J. H. Abendanon dan istrinya. Dalam surat-suratnya dijelaskan tentang pergaulan lingkungan, keadaan rakyat yang terbelakang, minimnya pendidikan dan pengajaran bagi para gadis. Kartini pun mengecam para pejabat Balanda yang tidak menaruh perhatian kepada rakyat banyak, melainkan hanya menaruh kepada para bupati serta menunda-nunda perluasan pendidikan bagi orang bumiputra yang mereka anggap sangat membahayakan kedudukan pemerintah Belanda.
Surat-surat yang bernilai sejarah ini, kemudian dikumpulkan dan dibukukan oleh J. H. Abendanon bersama istrinya dan diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht. Kemudian pada tahun 1923 buku ini di cetak untuk keempat kalinya dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, dan Perancis, dan Indonesia yang di terjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang." Semangat dan pemikiran di dalamnya sangat berpengaruh dan banyak memberikan motivasi bagi kaum wanita.
Untuk memperingati jasa-jasanya sebagai peletak dasar bangkitnya kesadaran kaum wanita di negeri ini, pada tahun 1912 berdirilah Sekolah Kartini di Semarang atas dorongan Bapak Politik Etis, Mr. C.Th. van Deventer. Di samping itu berdiri pula Van Deventer Fonds di Semarang yang memiliki tujuan sama dengan Kartini Fonds yang berdiri di Den Haag pada tahun 1913 untuk membiayai Sekolah Kartini di Semarang, Jakarta, Bogor, Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Rembang, Malang, Surakarta, dan Surabaya.
Pengaruh dari politik etis dalam dunia pengajaran dan pendidikan memang sangat terlihat sekali. Banyak para tokoh dan orang Belanda berbalik simpati kepada negeri jajahannya, di antaranya Eduard Douwes Dekker dan Fransen van de Putte. Dari sini pula rakyat dari berbagai kalangan sedikit demi sedikit ikut merasakan pendidikan dan pengajaran. Tapi bagaimana dengan saat ini, sudah meratakah pendidikan di negeri yang kaya dan merdeka ini.***