03 Juni 2009

JANJI NABI, WAHYU, DAN ILHAM



Oleh MARSUDI FITRO WIBOWO

Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung

Rabu, 31 Oktober 2007



BERANGKAT dari keabadian Islam, tidak ada lagi kemungkinan diutusnya nabi lain yang akan menghapus syariat Islam. Proposisi Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir didukung oleh kenyataan bahwa sebelum Islam tidak ada gerakan religius yang bersifat global --memang ada penyiar-penyiar agama, tetapi di antara mereka tidak ada yang berhasil. Akan tetapi, keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul Allah yang terakhir ini jelas sekali merupakan sebuah tanggung jawab yang berat terhadap orang-orang yang mengaku sebagai Muslim. Pengakuan ini lebih menitikberatkan kewajiban daripada keistimewaan seperti anggapan kaum Muslimin.


Semua nabi diutus dengan membawa agama Islam, baik dari orang-orang terdahulu maupun dari orang-orang terakhir. Para nabi itu tugas utamanya haruslah lebih diperhatikan dalam hal memberikan pertolongan kepada semua umat manusia dan mengeluarkan mereka dari alam kegelapan kepada cahaya. Maka dari itu selamanya mereka itu adalah merupakan pengajak atau penganjur kebaikan, pemimpin kebenaran, dan pembawa cahaya yang cemerlang di dalam kegelapan dunia yang merajalela.


Menurut Ibnu Taimiyah dalam al-'Ubudiyyah, "Para nabi adalah manusia pilihan. Mereka dipilih dan dimuliakan oleh Allah SWT dengan dijadikan-Nya sebagai nabi atau rasul." Mereka juga dianugerahi hikmah dan diberi kekuatan intelektualitas serta ketajaman berpikir. Mereka dijadikan Allah untuk menjadi penengah di antara-Nya dan makhluk-Nya. Tugas mereka adalah menyampaikan risalah dari Allah kepada makhluk-Nya dan memperingatkan mereka dari murka dan siksa-Nya. Mereka dibebani tugas menunjuki makhluk kepada apa yang membahagiakan mereka, baik di dunia maupun di akhirat.



Hakikat nabi penutup


Di dalam Islam disebutkan bahwa agama Islam tidak hanya merupakan penyempurna agama-agama terdahulu dan bahwa Nabi Muhammad saw merupakan Nabi Penutup (Khatm al-Nubuwwah). Dengan demikian, salah satu ajaran yang sangat pasti dalam Islam ialah berakhirnya mata rantai kenabian dengan diutusnya Nabi Muhammad saw dan tidak akan diutus lagi nabi setelah beliau.


Menurut Sayyid Sabiq dalam al-Aqaaid al-Islamiyyah, setiap nabi itu akan datang sesudah nabi yang lain, untuk lebih menyempurnakan apa yang telah dibina oleh nabi yang sebelumnya itu. Jadi, bagaikan memperbaiki bangunan, maka nabi yang baru datang itu seolah-olah sebagai penerus dan penyempurna, sehingga bangunan itu benar-benar sempurna. Sebagai penyempurna terakhir adalah junjungan kita Nabi Muhammad saw dan oleh sebab itu maka agama yang dibawa oleh beliau adalah sebagai perasaan atau intisari dari agama-agama (tauhid) yang telah lalu. Dakwahnya adalah dakwah yang sudah pasti akan kekal untuk selama-lamanya karena di dalamnya terkandung unsur-unsur kehidupan dan tiang-tiang kemaslahatan duniawiah dan ukhrawiah.


Dengan kesempurnaan dan kelengkapan agama itu, habislah kenubuwatan dan selesailah tugas kerasulan. Dalam hal ini Allah Ta'ala berfirman, "Muhammad bukanlah ayah seseorang dan laki-laki kalian, ia hanyalah rasul Allah dan penutup para nabi" (Q.S. Al-Ahzab: 40).


Manakala kenubuwatan sudah selesai, habis pulalah risalah dan oleh karenanya setelah Nabi Muhammad saw itu tidak ada lagi seorang yang diangkat oleh Allah sebagai seorang nabi dan tidak terdapat pula orang yang diberi tugas sebagai rasul atau utusan karena Nabi Muhammad adalah penghujung dari semua rasul Allah SWT.


Ketika terbukti bahwa beliau adalah penutup para nabi, maka dapat diketahui bahwa siapa pun yang mengaku nabi sesudahnya adalah pendusta. Menurut Imam al-Thahawiy yang dikutip oleh 'Abdul Akhir Hammad al-Ghunaymiy dalam al-Munhah al-Ilahiyyah fii Tahdzii Syarh al-Thahawiyyah, segala pengakuan nabi sesudah Nabi Muhammad saw adalah kesesatan (ghayy) dan ambisi syahwat (hawa). Al-Ghayy (kesesatan) adalah lawan dan al-Rusyd (petunjuk). Sedangkan hawa adalah ungkapan untuk ambisi nafsu. Artinya, pengakuan kenabian itu didasari ambisi syahwat, bukan karena dalil sehingga menjadi batil.


Oleh karena itu, kata M.T. Mishbaah Yazdiy (lihat Amuzesye Aqayid), terdapat falsafah atau hikmah di balik penutup para nabi (khatm al-Nabiyyiin) dan risalah ini. Pertama, dengan bantuan para khalifah dan pengikut-pengikut setia, Nabi Muhammad saw dapat menyampaikan risalahnya kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini. Kedua, kitab samawi Nabi Muhammad saw senantiasa terjamin utuh dari penyelewengan dan perubahan. Dan ketiga, syariat Islam dapat memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia hingga akhir masa.


Rasul terakhir


Allah SWT telah mewajibkan kepada umat Islam untuk beriman kepada para Rasul --sebelum Nabi Muhammad saw-- yang diutus oleh Allah tanpa membeda-bedakannya. Hal ini telah difirmankan dalam Q.S. Al-Baqarah: 136, 285. Namun, apabila seseorang sudah beriman kepada sebagian para Rasul dan sebagian lainnya tidak diyakini atau telah membeda-bedakan keimanannya terhadap seluruh rasul Allah SWT itu, maka jelas ia telah menjadi kafir, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nisa': 150-151.


Memang di antara sebagian rasul itu ada yang diceritakan Allah SWT yang kemudian disebutkan nama-namanya dan ada juga yang tidak diceritakan kepada kita. Soal ini bisa kita lihat dalam urutan Alquran, yakni Q.S. An-Nisa': 164, Al-An’am: 83-86, Ali 'Imran: 33, Al-A'raf: 65, Hud: 61, 84, Al-Anbiya': 85-86, dan Al-Ahzab: 40 yang menerangkan penutup para nabi dan rasul-Nya yang bunyinya, "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."


Lantas bagaimanakah hukuman Allah SWT terhadap orang-orang yang suka berbuat kerusakan dan melakukan pelanggaran serta mendakwakan nubuwah dan risalah secara dusta dan palsu, seperti halnya Musailamah al-Kadzdzab dan al-Aswad al-Ansy. Dua orang ini mengaku sebagai rasul Allah. Mereka diberi ancaman berupa siksa yang pedih di neraka jahanam, bahkan ketika mati pun mereka akan merasakan siksaan yang sangat keras. Soal ini bisa dibuka dalam firman Allah SWT Q.S. Al-An'am: 93.


Sudah jelas sekali bahwa Nabi Muhammad saw adalah rasul dan nabi Allah terakhir penutup para nabi (Khatm al-Nabiyyiin) sebagaimana tercatat dalam kitab-kitab Allah SWT sebelum Alquran diturunkan. Jika para nabi dan rasul yang telah diambil janji dan sumpahnya saja beriman kepada penutup para rasul dan memberitakan kedatangan beliau, lalu bagaimana mungkin pengikut-pengikut para nabi dari kalangan ahli kitab justru mendustakan dakwah dan risalah beliau? Atau bahkan dari kalangan umat Islam sendiri yang telah kufur mengingkari kebenarannya.


Padahal, Allah berfirman, "Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: 'Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya." Allah berfirman, 'Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?' Mereka menjawab, 'Kami mengakui.’ Allah berfirman, 'Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu'." (Q.S. Ali `Imran: 81).


Ibnu Abbas menerangkan bahwa Allah tidak mengutus seorang Nabi pun, melainkan mengambil perjanjian dan sumpah darinya. Bahwa sekiranya Allah mengutus Muhammad, sementara dia masih hidup, maka dia akan beriman kepada beliau (Nabi Muhammad saw) dan menolongnya, lalu Dia memerintahkannya untuk mengambil perjanjian dari umatnya, bahwa jika Muhammad diutus dan mereka masih hidup, maka mereka benar-benar akan beriman kepada beliau dan menolong beliau.


Ayat ini menunjukkan secara jelas bahwa Nabi Muhammad saw adalah pemimpin para nabi dan rasul; bahwa beliau memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada mereka; bahwa karena itu mereka harus mengikuti dan berlindung di bawah bendera beliau sekiranya mereka masih hidup.


Oleh karena itulah Nabi Muhammad bersabda dengan gaya bahasa tamanniy, "Sekiranya Musa dan Isa masih hidup, maka tidak ada pilihan bagi mereka selain mengikutiku." Allah pun telah memuji keagungan akhlak beliau yang tiada bandingannya dengan siapa pun, "Sungguh engkau (hai Muhammad) memiliki budi pekerti yang luhur" (Q.S. Al-Qalam: 4).


Kemudian bagaimana sikap Muslim saat ini jika ada seseorang yang mengaku sebagai nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad? Kita wajib tidak memercayainya, siapa pun dia dan dari mana pun dia datang! Perlu diingatkan kembali dalam hal ini mengenai perbedaan antara wahyu dan ilham. Pertama, wahyu sudah jelas datang dari Allah SWT yang tidak bisa diubah dan diganggu gugat kebenarannya. Wahyu diturunkan kepada para Rasul-Nya. Dalam hal ini Allah pun menjaganya.


Kedua, ilham bisa datang dari Allah bisa juga datang dari setan. Ilham bisa turun kepada siapa yang nilai kebenarannya bergantung kepada keteguhan, keyakinan, dan keistiqamahan, dalam menjalankan akidah (iman), syari'ah (Islam), dan akhlak (ihsan) yang baik. Ironisnya, bagaimana mungkin seseorang mendapat wangsit atau ilham jika ketiga pokok tersebut tidak dilaksanakan dengan baik. Pertanyaannya sekarang, darimanakah datangnya ilham itu jika tidak menjalankan perintah Allah dan hal-hal yang dicintai-Nya? Wallahu a'lam.***